Bagi
manusia yang senang berfikir negatif, tentunya akan sulit menerima
konsepsi Kepemimpinan Sejati, karena menurut pendapatnya bahwa yang dapat mengetrapkan kepemimpin Sejati hanyalah nabi Muhammad, SAW. Kita kan manusia biasa, bukan Nabi, bukan Rasul, dan juga bukan malaikat mana mungkin dapat mengaplikasikan Kepemimpinan Sejati dalam memimpin dikehidupan sehari-hari. Tetapi
jika kita berfikir positif dengan nalar yang sehat serta dibimbing oleh
hati nurani yang jernih, akan menyadari hakekat kehidupan manusia yang
sesungguhnya, bahwa semua manusia mempunyai kelemahan dalam pengendalian
hawa nafsunya. Namun jika manusia tersebut mendapat kepercayaan dari
rakyat untuk menjadi salah satu awak aparatur negara, minimal dapat
mencegah nafsu-nafsu yang merugikan manusia lain apalagi merugikan
kelompok masyarakat ( nafsu syaitoniyah ) dan akan mengembangkan
nafsu-nafsu untuk meningkatkan harga diri dan martabat kehidupannya (
nafsu mutmainah ) . Dengan pengekangan dan pengendalian diri yang kuat,
penulis percaya bahwa kita dapat menghindari pola sikap dan pola tindak
yang dapat merugikan pihak lain. Nafsu-nafsu pribadi yang tidak
merugikan pihak lain dan tidak merugikan diri sendiri dapat dipenuhi karena nafsu itu pada hakekatnya melekat dalam diri manusia secara alamiah dan merupakan pemberian
dari Allah SWT yang mendasari manusia menjadi dinamis. Manusia yang
tidak memiliki nafsu adalah manusia yang telah mati. Itulah gunanya ada
ajaran agama, etika, budi pekerti, sopan santun, tradisi dan peraturan
perundangan sebagai norma dan hukum yang merupakan rambu-rambu pembatas tentang kepatutan sikap dan perilaku manusia dalam memenuhi tuntutan nafsunya.
Oleh
karena itu, untuk mencetak awak aparatur negara sebagai Jalma Linuwih,
pertama kali yang dipenuhi adalah pencetakan rakyat yang tanggap,
tanggon dan trengginas serta mempunyai disiplin, ulet dan cerdas. Sumber
awak aparatur negara adalah dari rakyat, sehingga jika kwantitas
mayoritas rakyat telah memenuhi
syarat sebagai Jalma Linuwih, maka untuk pencalonkan sebagai calon awak
aparatur negara dalam proses pemilihan umum tidak memerlukan lagi
pelibatan money politics dan
kampanye yang menghamburkan dana. Dana dapat digunakan untuk infra
struktur kehidupan rakyat dan rakyatlah yang akan menilai secara
obyektif.
Awak
aparatur negara harus dijamin kehidupannya yang layak ( bukan mewah )
sampai awak aparatur negara tersebut kembali ke rahmatullah, sehingga
sewaktu menjabat sebagai awak aparatur negara tidak memikirkan masa
tuannya, karena sudah diatur dalam peraturan perundangan yang mapan.
Sejalan dengan itu, penegakan hukum harus tegas, siapa saja yang
melanggar harus dikenakan sangsi. Apabila pelanggarannya melibatkan
penggelapan uang dan atau material yang dapat dinilai dengan uang, maka
sejumlah dana yang digelapkan tersebut harus dikembalikan
ke negara / tidak cukup dengan hukuman kurungan atau hukuman mati. Jika
mengabaikan hal ini, yang muncul adalah awak aparatur negara / pemimpin
rakyat dalam bidang masing-masing yang
munafik siapapun manusianya seperti kondisi dewasa ini. Kemunafikan
terjadi dilingkungan awak Eksekutif, Yudikatif, Legislatif, awak MPR,
prajurit TNI, anggota Polri, Lembaga Perbankan awak Lembaga independent
negara serta dilingkungan rakyat itu sendiri baik di lingkungan /LSM,
partai politik maupun badan usaha SWTsta. Sebagian rakyat mayoritas menjadi korban kemunafikan karena peraturan perundangan yang telah dibentuk tidak dapat dioperasionalkan secara tegas.
Kemampuan
pengawasan manusia sangat terbatas, oleh karena itu harus dikembangkan
perwujudan disiplin nasional, yakni disiplin disegala bidang kehidupan
manusia. Kita harus menyadari bahwa menjadi awak aparatur negara adalah
kehormatan bukan ladang untuk mengumpulkan harta secara berlebihan/
melebihi kebutuhan normal kehidupannya beserta keluarganya. Oleh karena
itu, harus dikembangkan pemahaman arti hidup yang
berpasangan, saling memberi dan menerima, hidup adalah estafet sehingga
tidak tamak dalam mengumpukan harta untuk keperluan dinastinya.
Penyusunan organisasi dan mekanisme kerja Aparatur / Lembaga Tertinggi Negara dan Aparatur / Lembaga Negara harus mencerminkan keterpaduan dan power sharing yang serasi, dan bukan saling intervensi dan arogansi guna
pencapaian tujuan negara, bukan kepada pencapaian tujuan kelompok
apalagi tujuan pribadi. Ilmu negara, politik dan pengalaman empiris
melihat sistem di negara lain yang telah maju kita jadikan bahan
pembanding untuk selalu digunakan dalam memperbaiki kelemahan-kelemahan
sistem dan sub sistem apapun yang kita miliki (countinuous improvement) bukan sporadis dan atau statusquo.
Sumber : H. Koestomo, M.Sc.
0 komentar:
Posting Komentar